06 Januari 2010

Tugas UAS

AL-HAQ ISLAMIC SCHOOL
Sekolah ini merupakan sekolah swasta di bawah Amal Mulia yang menyediakan pendidikan tingkat dasar, menengah pertama dan menengah atas. Sekolah dengan pondasi dasar keislaman dan menanamkan sikap kesederhanaan dengan fasilitas secukupnya, namun berbasis teknologi informasi tinggi. Hal ini dapat ditunjukkan dari gedung sekolah yang luas, layak namun tidak mewah, lantai ubin batu (yang penting tidak berdebu), kelas menggunakan kipas angin, menggunakan papan tulis hitam dengan kapur, namun dilengkapi dengan laboratorium komputer terkoneksi dengan internet teknologi tertinggi, begitu pula dengan laboratorium IPA, dan bahasa serta sistem presensi retina.

Al-haq Islamic School, melalui Yayasan Amal Mulia bergerak di dua bidang sekaligus. Sosial dan Pendidikan. Bersama yayasan membuat tim Fund Rising untuk beasiswa anak-anak kurang mampu. Disamping itu, kami menerapkan sistem subsidi silang. Menghapus batas antara si miskin dan si kaya. Menanamkan jiwa sosial dan empati tinggi pada siswa. Mengajarkan bagaimana bersyukur atas apa yang didapat selama ini. Menjunjung tinggi kesetaraan dengan didasari dengan nilai-nilai spiritualitas.

Kompetensi Lulusan
1. Mampu bersikap sederhana dalam keseharian dan tidak berlebih-lebihan serta pandai bersyukur atas nikmat yang telah didapat.
2. Berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang dianut.
3. Menunjukkan sikap percaya diri dan bertanggung jawab atas perilaku, perbuatan, dan pekerjaannya.
4. Menghargai keberagaman agama, bangsa, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup global.
5. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif dalam pengambilan keputusan.
6. Menunjukkan sikap kompetitif dan sportif untuk mendapatkan hasil yang terbaik.
7. Cakap organisasi.
8. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat.
9. Menunjukkan keterampilan menyimak, membaca, menulis, dan berbicara dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
10. Memiliki kapasitas yang baik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya

PROGRAM YANG DITAWARKAN
Program Reguler

Pendidikan untuk SD, SMP, dan SMA. Lama pendidikan SD 6 tahun, SMP 3 tahun dan SMA 3 tahun. Penjurusan pada tingkat SMA tersedia IPA, IPS dan bahasa. Fasilitas kelas merata di masing-masing jenjang. Kelas dengan kapasitas maksimal 20 orang. Kelas dilengkapi dengan 3 kipas angin di langit-langit, rak sepatu, loker siswa, sebuah papan tulis hitam, infocus+layar, pengaturan cahaya yang baik. Guru bersertifikasi dan professional serta bersahabat. Menghadirkan native speaker untuk pelajaran bahasa inggris, mandarin dan arab. Hafal qur’an juz 30, 29, 28, 27 dan 26 pada kelulusan SD, hafal qur’an juz 25, 24 dan 23 pada kelulusan SMP, dan hafal qur’an juz 22 dan 21 pada kelulusan SMA.

Program Akselerasi
Pendidikan untuk SD, SMP, dan SMA. Lama pendidikan SD 4 tahun, SMP 2 tahun, dan SMA 2 tahun. Penjurusan pada tingkat SMA tersedia IPA, IPS dan bahasa. Fasilitas kelas merata di masing-masing jenjang. Kelas dengan kapasitas maksimal 20 orang. Kelas dilengkapi dengan 3 kipas angin di langit-langit, rak sepatu, loker siswa, sebuah papan tulis hitam, infocus+layar, pengaturan cahaya yang baik. Guru bersertifikasi dan professional serta bersahabat. Menghadirkan native speaker untuk pelajaran bahasa inggris, mandarin dan arab. Hafal qur’an juz 30, 29, 28, 27 dan 26 pada kelulusan SD, hafal qur’an juz 25, 24 dan 23 pada kelulusan SMP, dan hafal qur’an juz 22 dan 21 pada kelulusan SMA.

Program Asrama
Program asrama drperuntukkan bagi siswa kurang mampu tingkat pendidikan SMP dan SMA yang hendak berasrama. Di asrama, hidupnya dijamin oleh pihak yayasan mulai dari makanan, uang saku, pakaian, perlengkapan sekolah, sepatu, dll selama bersekolah di Al-haq Islamic School sebagai siswa asrama. Program asrama berlaku untuk putra dan putri. Tiap asrama dipegang oleh 2 orang Pembina lulusan Pesantren Modern Gontor. Keuntungan yang didapat secara keilmuan, yakni ada pengajian rutin ba’da subuh dan ba’da maghrib yang diawali dengan membaca al-ma’surat, tahfidz, lalu kajian keislaman sesuai dengan materi tarbiyah rancangan Imam Hasan Al-bana. Siswa asrama juga mendapatkan ilmu bela diri setiap hari sabtu pagi. Siswa asrama diberikan kewajiban terhadap asrama berupa jadwal piket harian yang telah dibagi-bagi dan disesuaikan serta kerja bakti pada hari minggu. Siswa asrama putra dan putrid masing-masing terbatas untuk 40 orang.

Program ini dipilih berdasarkan analisis kondisi sosio-ekonomi masyarakat sekitar dan masalah moralitas yang nampak pada kehidupan pelajar saat ini, dimana bergelimangan fasilitas (orang kaya), terbiasa dengan kemewahan, seakan seluruh dunia berisikan orang kaya tanpa mengetahui apa lagi peduli terhadap mereka yang kekurangan serta jauh dari nilai-nilai spiritual. Pengambilan program disesuaikan dengan standar pendidikan Indonesia.
Untuk Program Akselerasi, kami menyadari bahwa terdapat siswa-siswa berbakat yang daya serap dan kemampuannya diatas rata-rata dan memungkinkan untuk segera melanjutkan ke jenjang/tinkat selanjutnya. Karena jika tidak demikian, mereka justru akan mengalami hambatan di kelas reguler. Siswa-siswa semacam in iakan menkadi asset yang sangat berharga bagi bangsa ini, oleh karena itu kami mencoba menemukan dan mengembangkan bibit-bibit siswa berbakat dengan membuka program akselerasi ini.
Program Asrama, lebih mengajarkan siswa kemandirian. Hidup dengan teman yang lain akan menumbuhkan kepekaan sosial dan solidaritas yang tinggi dari dalam diri siswa. Serta yang paling berharga adalah membiasakan pola hidup yang baik dan religious.

Sasaran dan Kriteria Peserta Didik
Al-haq Islamic School terbuka untuk semua peserta didik dari kalangan secara status sosial dan ekonomi pada umur yang sesuai. Sekolah ini juga terbuka untuk non muslim sekalipun, dengan menghilangkan unsure-unsur mata pelajaran keislaman dan disesuaikan dengan agama mereka namun mereka tidak bisa menjadi siswa asrama.
Untuk SD siswa minimal berusia 7 tahun. Untuk siswa SMP, harus memiliki ijazah SD dan nilai minimal rata-rata UN 8,00. Untuk SMA, harus memiliki ijazah SMP dan nilai minimal rata-rata UN 8,00.
Sekolah ini merupakan sekolah inkluisif, sehingga terbuka juga untuk anak berkebutuhan khusus yang kelasya digabung dengan siswa normal.

Strategi Publikasi
1. Open House pada louching pertama dan pada tahun awal penerimaan siswa baru.
2. Menyebarkan selebaran (leaflet) ke seluruh kecamatan di kota Depok, Jakarta Selatan dan Jakarta Timur, terutama pada komplek-komplek perumahan
3. Internet (website & membuat group di FB)
4. Media Cetak (Koran dan Majalah)
5. Door to door
6. Radio

Proses dan Alat Seleksi
Tahapan Seleksi
1. Seleksi Administratif (alatnya berupa formulir pendaftaran dan berkas-berkas sesuai persyaratan)
2. Tes Akademik, Psikotes dan Performance Test (prestasi)
3. Wawancara (Orang tua siswa dan siswa terpisah)
4. Keputusan Penerimaan (melalui email, facebook dan surat)

Kriteria Kelulusan
Kriteria kelulusan disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku.
a. Menyelesaikan seluruh program pembelajaran;
b. Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan;
c. Lulus ujian sekolah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; Peserta didik dinyatakan lulus ujian sekolah/sekolah apabila memiliki rata-rata nilai minimum 6,00 dan nilai minimum setiap mata pelajaran Ujian Sekolah sesuai batas minimum ujian nasional.
d. Lulus Ujian Nasional.

Namun ada kriteria kelulusan tambahan dari sekolah, diantaranya:
1. Hapalan qur’an seperti yang telah dipaparkan di atas
2. Penilaian sikap (akhlak)
Semua ketentuan berada pada wewenang sekolah seutuhnya untuk meluluskan atau menidakluluskan siswa.

Kreativitas dan Kecerdasan Emosi

Kreativitas
Kreativitas merupakan kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau berkreasi (Olson)., Kreativitas adalah proses yang menghasilkan sesuatu yang baru, baik gagasan maupun objek dalam suatu bentuk susunan baru (Churlock). Menciptakan suatu ide baru merupakan tolak ukur secara umum konsep dasar kreativitas yang dimiliki sesorang.
Menurut Evan, kreativitas itu adalah keterampilan untuk menemukan sesuatu yang baru. Memandang subjek dari perspektif yang baru, dan membentuk kombinasi yang baru dari 2 atau lebih suatu konsep. Kreatif tidak harus hal yang baru. Melihat hal lama dengan perspektif yang baru dan memodifikasinya, mengkombingasikannya dengan konsep yang lain juga merupakan kreativitas.

Pola dasar kreativitas:
I = Imajinasi
D = Data
E = Evaluasi
A = Aksi

Orang kreatif memiliki daya imajinasi yang tinggi, karena tanpa imajinasi kreativitas tidak akan terbangun. Kreativitas memerlukan data-data sebagai modal untuk berekspresi dan berkreasi. Setelah data terkumpul lakukan evaluasi terhadap kreativitas kita, sejauh mana modifikasi bisa dilakukan, dilihat dari segi ketersediaan bahan, biaya, waktu, efisiensi energi, dll. Terakhir, setelah menetapkan kreativitas berdasarkan hasilevaluasi data, baru beraksi.

Seorang yang kreatif bercirikan: bebas dalam berpikir, penuh daya imajinasi, bersifat selalu ingin tahu, suka pengalaman baru, penuh inisiatif, bebas dalam berpendapat, punya minat yang luas, percaya diri akan apa yang dilakukan, tidak mudah menerima dengan mudah apa yang disuguhkan orang kepadanya, berani mengambil resiko, menyukai tugas yang majemuk, sifatnya ulet dan tidak cepat merasa bosan.

Penyebab dari rendahnya kreativitas adalah cara berpikir yang konvergen,yakni menganggap hanya ada satu cara yang tepat untuk digunakan dan wawasan yang kurang luas dalam melaksanakan imajinasi/kreativitas yang sudah diperoleh.

Daya dari kreativitas itu bisa melemah karena takut mengubah kebiasaan, takut berbuat salah dan ditertawakan.

Kreativitas dapat ditingkatkan dengan cara :
1. Menjelajahi pikiran kita secara terus menerus dan terbuka dengan berbagai gagasan
2. Mengembangkan pertanyaan, mengembangkan sikap kritis kita, dengan begitu kita dapat berpikir dengan tidak biasa
3. Kembangkan gagasan sebanyak-banyaknya
4. Mengembangkan cara baru untuk melakukan sesuatu keluar dari zona aman.
5. Berani mengambil resiko dengan apa yang akan dilakukan.
6. Gunakan imajinasi
7. Isilah sumber inspiratif dengan relaksasi


Kecerdasan Emosional

Emosi sering dianggap sebagai sesuatu yang negatif dan merusak, maka harus dijauhkan bahkan dihilangkan. Akhirnya muncullah istilah jika seseorang marah-marah dianggap sedang emosi. Padahal emosi bukanlah tentang amarah. Emosi adalah ekspresi jiwa. Emosi menggambarkan perilaku, respon atau psikologis mengatur perasaan yang timbul karena adanya keinginan atau stimulus yang tidak terduga. Emosi pun muncul sebagai tanggapan atas kejadian tertentu.

EQ merupakan kemampuan/kecerdsan dalam keterampilan bakat, minat dan sikap. EQ mengajarkan kepada kita untuk memahami perasaan orang. Sebuah riset menarik, menyatakan bahwa IQ menunjang kesuksesan tidak lebih dari 20% dan kurang lebih 80% lagi dtunjang oleh kecerdasan emosi, spiritual dan yang lain. Tentu EQ mendapatkan porsi yang lebih besar.

Dimensi EQ terdiri dari, kecakapan pribadi berhubungan dengan kemampuan mengenali diri sendiri (intrapersonal, sadar diri, pengaturan diri dan motivasi diri). Kedua, kecakapan social, bagaimana kita dapat berhubungan baik orang lain dan masyarakat dan terakhir keterampilan sosial/kemampuan berinteraksi dengan orang lain.

Kecerdasan ini bisa dilatih dalam organisasi atau dalam forum-forum diskusi dimana kita dapat dengan leluasa berinteraksi dengan orang-orang, berusaha memahami karakter masing-masing orang, berusaha dapat diterima oleh setiap orang, berusaha tetap bekerja sama dengan orang yang kita tidak sukai, atau tidak cocok, melatih emosi kita, dll.

Pembinaan Disiplin

Pembinaan disiplin merupakan salah satu pandangan dari keberhasilan seseorang dalam mengolah lembaga atau sumber daya dalam dunia pendidikan. Sikap disiplin sangat diperlukan sebagai sarana pendukung agar terciptanya efisiensi pendidikan. Kita harus menanamkan disiplin tidak hanya tentang waktu, tetapi juga sikap dan perilaku sehari-hari kita. Disiplin tidak hanya berlaku untuk siswa. Tetapi juga security, karyawan, staf, guru, hingga kepala sekolah. Hal ini penting untuk efektifitas dan pencitraan suatu lembaga pendidikan.

Pendisiplinan sekolah adalah usaha dan upaya untuk mendisiplinkan seluruh warga sekolah agar tidak berperilaku menyimpang dari aturan dan kesepakatan yang ada. Pendisiplinan sekolah itu sangat penting karena dapat membentuk kepribadian peserta didik yang tertib. Aturan sekolah merupakan standa/ketetapan yang harus dipatuhi oleh seluruh warga sekolah, mulai dari jam masuk, seragam, sikap, etika, nilai-nilai (kejujuran, bekerja keras, ikhlas), dll. Pendisiplinan sekolah dalam perspektif siswa, merupakan sebuah upaya pembiasaan kepada siswa agar senantiasa berperilaku baik, tertdib dan disiplin.

Ada dua macam disiplin, yakni disiplin preventif dan korektif. Disiplin preventif adalah upaya menggerakkan siswa untuk mengikuti dan mematuhi peraturan yang telah ditetapkan. Penerapan disiplin semacam ini dilakukan untuk mencegah terjadinya perilaku peserta didik yang menyimpang. Sedangkan disiplin korektif yaitu disiplin yang diterapkan dengan memberikan kesempatan kedua setelah ia melanggar aturan/berperilaku menyimpang.

Perilaku menyimpang dapat disebabkan dari ketidaktegasan guru dalam mendidik siswa. Acuh tak acuh serta tidak peduli dengan kelakuan siswanya. Hal ini membuat siswa merasa tidak diperhatikan dan tetap melanjutkan perilaku menyimpangnya. Penyebab yang lain adalah karena kondisi sekolah yang kurang menyenangkan sehingga siswa ingin segera cepat pulang dan stress. Penyebab itu juga bisa datang dari dalam diri siswa itu sendiri. Namun terkadang kurikulum yang terlalu kaku membuat siswa bega berada di sekolah dan menjalankan aktifitas sesuai dengan seluruh aturan yang ada.

Pendekatan kepada siswa adalah upaya pertama yang bisa dilakukan untuk penanggulangan masalah ini. selanjutnya kerahkan guru bimbingan konseling untuk membantunya agar menjadi lebih baik dan disiplin. Tanamkan tentang pentingnya disiplin kepada siswa, diantaranya: disiplin merupakan sebuah upaya untuk menanamkan kerja sama, karena dalam bekerja sama dibutuhkan kedisiplinan dengan partner kerja kita. Disiplin merupakan kebutuhan dalam berorganisasi, bagaimanapun kita akan berorganisasi baik di tempat kerja maupun keluarga pada cakupan yang lebih kecil. Disiplin mengajarkan kita tentang menghormati orang lain.

Strategi umum yang digunakan untuk menstimulus kedisiplinan dalam diri adalah menumbuhkan konsep diri siswa, keterampilan berkomunikasi, konsekuensi logis (konsekuensi yang terukur) jika ia tidak disiplin, klarifikasi nilai, penjelasan tentang kesalahan yang dilakukan dan hal mana yang seharusnya dilakukan, analisis transaksional (modifikasi perilaku dengan membangun kesepakatannya), buat kesepakatan dengan siswa, bargain seperti apa yang diinginkan siswa agar ia mau disiplin, terapi realitas (mengambil contoh dan pelajaran dari kejadian yang sudah-sudah), disiplin yang terintegrasi (diterapkan secara terpadu), dan memodifikasi perilaku.

Tantangan pendisiplinan adlah pemberontakan. Baik dari individu maupun kelompok. Pendidik dan pihak sekolah harus sudah memiliki solusi jika pemberontakan itu terjadi. Ada peraturan yang bersifat permisif, yaitu orang dibiarkan bertindak sesuai dengan keinginannya namun harus tetap berada di koridor yang telah ditetapkan, ada juga peraturan yang bersifat demokratis dimana siswa diikutsertakan dalam pembuatan peraturan sekolah, teknik ini menekankan kepada aspek educatif dan aspek hukuman. Hal ini dapat berimbas positif bagi pihak sekolah karena peraturan merupakan kesepakatan, sudah selayaknya siswa mematuhi dan menjunjung tinggi kesepakatan bersama. Ini akan menjadi senjata ampuh ketika ada siswa yang melanggar peraturan.

Quantum Learning

Dalam ilmu fisika, istilah quantum masuk kedalam teori percepatan. Dalam fisika, quantum berarti sebuah loncatan partikel-partikel electron berkecepatan tinggi yang mampu menembus kepadatan materi. Namun arti sebenarnya dari quantum itu adalah system kerja yang diberlakukan di sebuah perusahaan agar pegawai merasa nyaman dan menyenangkan dan agar pekerjaan dilakukan dengan baik.

Quantum learning adalah percepatan belajar yang diciptakan dalam kelas tertentu untuk mengefisiensikan aktivitas pembelajaran dikelas. Atau dengan kata lain, Quantum Learning merupakan suatu kiat, petunjuk, strategi dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman daya ingat, serta belajar sebagai proses yang menyenangkan dan bermakna.

Kerangka berpikir quantum learning terdiri dari beberapa hal yang dianggap penting dalam pembelajaran. Pertama, sikap positif. Sebelum memulai belajar hendaknya siswa harus memiliki sikap positif. Sikap positi lahir dari perasaan dan pikiran yang positif. Sebuah pikiran bahwa kita akan mampu memahami mata pelajaran tersebut. Sebuah keyakinan bahwa kekuatan pikiran itu tidak terbatas. Otak kita sama dengan otak Einstein, otak yang luar biasa ini memiliki dalil sederhana: gunakan atau abaikan. Pemikiran positif semacam ini yang mampu memotivasi kita dan pada akhirnya memunculkan sikap positif. Hal ini penting sebelum memulai pembelajaran. Kedua, cara belajar. Cara belajar merupakan gabungan dari cara mengatur informasi, cara menyerap informasi dan cara mengolah informasi. Cara belajar orang berbeda-beda. Hendaknya siswa diberikan keleluasaan dalam mengeksplor cara belajarnya masing-masing ketika mereka sudah menemukan caranya, mereka akan merasa nyaman dan pembelajran menjadi efektif. Ketiga, motivasi. Motivasi merupakan hal yang penting dan mampu menggerakkan serta menyemangati kita untuk melakukan sesuatu, begitu pula halnya dalam belajar. Bagaimana guru mampu membangun motivasi siswa sebelum belajar. Keempat lingkungan belajar. Lingkungan tempat belajar haruslah mendukung baik dari kerapihan, keindahan dan kenyamanan. Lingkungan belajar harus mendukung. Guru yang ramah, suhu kelas yang baik, pencahayaan yang cukup, warna dinding kelas, jika perlu tempelkan tulisan-tulisan yang mampu memotivasi siswa di sekitar dinding kelas. Selanjutnya baca cepat, semakin cepat dalam membaca, semakin banyak informasi yang mampu diserap dalam waktu yang singkat oleh siswa, oleh karena itu siswa diajarkan bagaimana cara membaca cepat. Teknik hapalan dan menulis. Terkadang untuk menghapal sangat sulit bagi beberapa siswa, begitu pula dengan menulis. Bagaimana cara menghapal yang baik dan terekam dalam long term memory, bagaimana menulis dengan efisien tanpa mengurangi substansi yang terkandung di dalamnya.
Dalam quantum learning, siswa ditanamkan sebuah pemikiran bahwa belajar adalah kegiatan yang menyenangkan dan mengasyikkan. Sehingga di dalamnya tidak ada perasaan resah, takut, bosan, menyebalkan, panik, bingung. Jika hal ini berhasil ditanamkan, maka antusias siswa akan sangat tinggi dalam belajar. Tanpa tekanan, tanpa paksaan.
Gardner membagi kecerdasan manusia sebagai berikut:
1. Kecerdasan linguistic (bahasa)
2. Kecerdasan logika (matematik, fisika, angka)
3. Kecerdasan visual (penglihatan)
4. Kecerdasan kinestetik (gerakan fisik, olah raga)
5. Kecerdasan musical (music, mencipta lagu, aransemen, kepekaan nada)
6. Kecerdasan interpersonal (menjalin hubungan dengan orang-orang)
7. Kecerdasan natural (alami)
Memberikan apreasiasi setelah belajar, memberikan penghargaan atas keberhasilan kita, lalu mencapai kesempurnaan untuk membentuk kepercayaan diri dan kemudian memberikan motivasi untuk langkah selanjutnya.
Musik sangat membantu dalam menciptakan lingkungan belajar yang baik. Music dapat membuat denyut nadi dan tekanan darah menurun, memperlambat gelombang otak, dan merilekskan otot-otot.

Strategi Belajar

Keselurauhan kehidupan manusia adalah belajar. Dari kecil hingga besar kita terus belajar. Belajar tidak ada akhirnya. Dengan belajar, seluruh aspek hidup kita dapat menjadi lebih baik dan diharapkan adanya perbaikan kualitas hidup. Dengan belajar kita pun dapat bermanfaat untuk orang lain dengan ilmu yang kita proleh. Belajar dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Bahkan ketika kita naik bus umum, entah bagaimana kita tahu kaki kiri lah yang harus turun terlebih dahulu, itupun sebuah pembelajaran. Agama pun mewajibkan penganutnya untuk terus belajar, dari lahir, hingga ke liang lahat.

Belajar merupakan sebuah proses yang dilakukan secara sengaja dan terencana dengan tujuan penambahan pengetahuan, dari yang tidak tahu menjadi tahu, di dalamnya terdapat interaksi antara pengajar, peserta didik dan lingkungan sekitar. Pembelajaran yang baik menyesuaikan dengan kondisi siswa, lingkungan, dan fasilitas yang ada, biasa disebut dengan pembelajaran kontekstual. Pengajar haruslah seorang guru yang professional baik secara akademik, maupun secara sikap dan kemampuan komunikasinya.

Dalam perkembangannya, pembelajaran mengalami perubahan dari teacher centered menuju student centered. Dari sebuah sistem pembelajaran yang seutuhnya dikendalikan oleh guru, dan siswa berperan sebagai pendengar yang baik menuju sebuah pemusatan kepada siswa, yang focus pada keikutsertaan siswa secara aktif dalam proses pembelajara. Dari teori belajar behavioristik menuju teori belajar konstruksivistik. Dalam behavioristik terdapat aktivitas penambahan pengetahuan yang bersifat objektif dan pasti, pengetahuannya tersetruktur dengan rapih dan seragam. Siswa hanya menerima apa-apa yang diberikan oleh guru. Sedangkan dalam kontruktivistik hal yang dilakukan adalah pemaknaan terhadap pengetahuan, pengetahuan nonobjektif dan senantiasa berubah, pengetahuan terstruktur secara rumit dan beragam. Siswa sendirilah yang mengkonstruksi pemahamannya. Layaknya membangun rumah, siswa hanya diberikan air, pasir, semen, batu bata, rangka, genting, dll, namun ia sendirilah yang mengaduk semen, menempelkan batu bata, hingga menjadi tembok dan memasang genting sehingga menjadi rumah.

Proses pembelajaran sebaiknya disusun secara sistemik dan sistematis oleh guru. Interaksi yang optimal antara guru dan siswa merupakan suatu keharusan agar proses pembelajaran berjalan dengan efektif. Ketersediaan sumber belajar yang memadai, serta suasana yang menyenangkan, menantang, mendorong semangat adalah variable yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Dewasa ini kita kenal pembelajaran tematik. Pembelajaran tematik adalah pembelajaran yang dirancang berdasarkan tema tertentu, lalu tema tersebut dapat ditinjau dari beberapa mata pelajaran. Pada pembelajaran tematik disediakan keluasan dan kedalaman implementasi kurikulum serta menawarkan dinamika dalam pembelajaran dan membantu siswa membangun hubungan antara konsep dan ide pemahaman. Sebagai contoh, ketika kita berbicara tentang air, bisa dibahas dari segi geografi, fisika, biologi, kimia, penjaskes, bahkan agama. Jenis pembelajaran lain yang sering digunakan adalah pembelajaran koperatif yaitu pembelajaran yang menitik beratkan pada kerjasama tim. Siswa dilatih untuk bekerja dan menjadi bagian dalam tim, bekerja sama, berinteraksi, serta melatih jiwa kepemimpinan. Bentuk pembelajaran dapat berupa diskusi kelompok, atau observasi kelompok atau proyek kelompok.

Jenis-jenis pembelajaran student centered lainnya meliputi belajar berbasis masalah (problem based learning), dimana siswa dihadapkan dengan berbagai maslah, lalu dari situ siswa diarahkan untuk menganalisi masalah, mengaitkannya dengan teori yang ada, menentukan faktor penyebab masalah dan bagaimana penyelesaiannya. Pembelajaran semacam ini dianggap efektif karena langsung pada poin intinya: problem solving, karena pada dasarnya belajar berarti melatih kita untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah yang ada.

Manajemen Kelas

Manajemen kelas adalah berbagai jenis kegiatan yang dengan sengaja dilakukan oleh guru dengan tujuan menciptakan kondisi optimal bagi terjadinya proses belajar mengajar. Manajemen kelas meliputi pengaturan siswa dan pengaturan fasilitas. Manajemen kelas dalam menciptakan kondisi optimal ini dapat berupa penghentian perilaku peserta didik yang menyelewengkan perhatian kelas, pemberian ganjaran, pemberian award, penyelesaian tugas oleh peserta didik secara tepat waktu, penetapan norma kelompok yang produktif, penataan ruang kelas, penataan tempat duduk,dll.

Secara umum terdapat 2 masalah pengaturan siswa pada manajemen kelas, yaitu Masalah Individu dan Masalah Kelompok.

Masalah individu meliputi: Attention getting behaviors (perilaku mencari perhatian), Power seeking behaviors (perilaku menunjukkan kekuatan), Revenge seeking behaviors (perilaku menunjukkan balas dendam), dan Helplessness (peragaan ketidakmampuan). Sedangkan masalah yang ada di kelompok yaitu: Kelas kurang kohesif, karena alasan jenis kelamin, suku, gender, tingkatan sosial ekonomi, dan sebagainya. Kedua, Penyimpangan dari norma-norma perilaku yang telah disepakati seperti keterlambatan. ketiga, Kelas mereaksi secara negatif terhadap salah seorang anggotanya seperti menyoraki teman yang salah menjawab pertanyaan dari guru. Keempat, Kelompok cenderung mudah dialihkan perhatiannya dari tugas yang tengah digarap seperti gossip, hang out, nonton, main game, futsal, dll. Kelima, Semangat kerja rendah atau semacam aksi protes kepada guru, karena menganggap tugas yang diberikan kurang fair, terlalu berat, dll. Keenam, Kelas kurang mampu menyesuakan diri dengan keadaan baru.

Ada 8 pendekatan manajemen kelas dalam upaya menangani masalah-masalah yang disebutkan di atas. Pertama, pendekatan otoriter dimana guru menggunakan otoritasinya secara utuh untuk megatur siswa yang sekiranya mengganggu jalannya proses belajar mengajar. Kedua, pendekatan intimidasi : mengawasi siswa dan menertibkan siswa dengan cara intimidasi. Contoh, guru mengatakan : “sekali lagi anda mengganggu, keluar!”. Ketiga, pendekatan permisif : memberikan kebebasan kepada siswa, apa yang ingin dilakukan siswa, guru hanya memantau apa yang dilakukan siswa. Dan akhirnya member evaluasi. Keempat, pendekatan resep masakan : mengikuti dengan tertib dan tepat hal-hal yang sudah ditentukan, apa yang boleh dan apa yang tidak. Kelima, Pendekatan pengajaran : guru menysusun perencanaan pengajaran secara apik sehingga tidak ada celah sedikitpun bagi siswa untuk berprilaku menyimpang. Keenam, Pendekatan modifikasi perilaku : mengusahakan adanya perubahan prilaku siswa dari yang buruk menjadi baik. Ketujuh, Pendekatan iklim sosio-emosional : menjalin hubungan yang positif antara guru-siswa. Akrab, namun masih menjaga koridor yang ada sebagai guru (orang tua) dan siswa. Kedelapan, Pendekatan sistem proses kelompok/dinamika kelompok : membuat kelompok-kelompok belajar sehingga perilaku menyimpang bisa lebih diredam dengan tugas diskusi kelompok yang dilaksanakan dengan efektif dan produktif.

Setting tempat duduk juga dapat mempengaruhi efektifitas belajar siswa, oleh karena itu telah tersedia beberapa setting tempat duduk yang mampu menunjang efektivitas belajar siswa, diantaranya U-shape, O-shape, V-shape, Theater dan bentuk acak.

Moving Class
Moving Class merupakan bentuk dari manajemen kelas dimana siswa mendatangi guru/pendamping belajar. Lingkungan dan suasana kelas dibuat dan didekorasi sedimikian rupa sehingga nyaman, dinamis dan sesuai dengan mata pelajaran tertentu. Keunggulan sistem ini adalah para siswa mempunyai semacam waktu relaksasi/refreshing sejenak sebelum memulai pelajaran selanjutnya dengan bergerak, berjalan bersama-sama menuju kelas lain sehingga pikiran kembali segar. Kekurangannya adalah, tidak ada rasa kepemilikan kelas oleh siswa, sehingga kelas cenderung tidak terurus. Dan biasanya siswa akan mendapati kelas selalu berantakan, kotor, sampah berserakan, dll karena habis dipakai oleh rombongan siswa sebelumnya.

Seleksi, Penempatan dan Orientasi

Seleksi
Seleksi adalah serangkaian langkah yang digunakan untuk memutuskan apakah pndaftar dapat diterima atau tidak berdasarkan kompetensi yang dimiliki. Seleksi dilakukan untuk mengetahui apakah kriteria peserta didik sesuai dengan kebutuhan lembaga pendidikan. Ada atau tidaknya kesesuaian antara kebutuhan pelamar dengan kebutuhan lembaga pendidikan menjadi dasar dari pelaksanaan seleksi.

Tantangan dalam proses seleksi diantaranya tantangan supply yang terkait dengan ketersediaan calon peserta didik yang sesuai dengan kriteria peserta yang diinginkan oleh lembaga pendidikan. Hal baiknya adalah semakin banyak pesera didik yang mendaftar, semakin banyak peluang untuk memilih yang terbaik untuk dapat diterima. Hal buruknyaadalah pekerjaan administrative, SDM, waktu dan biaya juga akan semakin bertambah banyak. Sebaliknya, semakin sedikit pendaftar, semakin sedikit pilihan, namun pekerjaan administrative, SDM, waktu dan biaya yang dibutuhkan pun semakin sedikit.

Selanjutnya tantangan etis yang terdiri dari 5 hal: kesetaraan gender, family system (KKN), sogokan (surat sakti), transparansi, dan formalitas. Kesetaraan jender, dimana seleksi didasari pada jenis kelamin pria/wanita seperti pada sekolah asrama wanita, sekolah sekertaris, sekolah tentara,dll. Kedua, family sistem atau sering dikenal dengan istilah KKN, dimana penerimaan calon peserta didik dilakukan melalui jalur kekerabatan/hubungan tali persaudaraan, meskipun peserta didik tidak kompeten untuk dapat diterima di lembaga pendidikan tersebut.

Ketiga, sogokan. Seperti yang kita ketahui, kecurangan semacam ini sering terjadi demi alasan gengsi dari peserta didik maupun alas an finansial bagi oknum pihak sekolah yang tidak bertanggung jawab.

Keempat, transparansi. Sebuah transparansi atau kejelasan terbuka tanpa ada hal yang ditutup-tutupi oleh pihak sekolah kepada pendaftar. Acap kali terjadi konflik ketika tidak ada transparansi dari pihak sekolah kepada pihak pendaftar. Kelima, formalitas (pembuktian), maksudnya pihak luar mengetahui bahwa seleksi telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ada.

Terakhir adalah tantangan organisasional. Hal ini didasarkan pada lembaga pendidikan itu sendiri, seputar keterbatasan sarana prasarana sekolah, pembiayaan proses seleksi, alokasi waktu dan SDM.

Proses seleksi melewati langkah-langkah sistematis yang tersedia yaitu seleksi administratif, seleksi dengan prosedur tes, wawancara, pemeriksaan referensi, evaluasi medis dan keputusan penerimaan.

Langkah pertama yaitu seleksi administratif. Calon peserta didik diharuskan mengisi formulir yang telah disediakan oleh pihak sekolah. Dokumen-dokumen dan kelengkapan lain juga harus dipenuhi secara lengkap oleh calon peserta didik. Langkah kedua adalah seleksi dengan tes. Alat tes harus memenuhi standar : valid dan reliable. Standar valid dan reliable artinya alat tes itu harus dapat digunakan dengan mudah oleh pelamar dan materi tes yang digunakan berkaitan dengan jenis lembaga pendidikan itu sendiri. Materi tes yang biasa diujikan diantaranya; psikotes, pengetahuan (potensi akademik), performance, harus memperhatikan aspek kelayakan (feasibility dan fleksibilitas). Langkah selanjutnya yaitu wawancara, sebuah percakapan antara pihak sekolah dengan satu per satu calon peserta didik. Ada 5 jenis pertanyaan wawancara: Pertanyaan tidak terstruktur, artinya pertanyaan yang diberikan tidak terurut atau diberikan secara acak, berkembang sesuai dengan pembicaraan yang terjadi. Pertanyaan terstruktur, pertanyaan diberikan secara berurutan dan telah dipersiapkan oleh pewawancara. Pertanyaan campuran, pertanyaan yang diberikan bisa acak namun ada juga yang berurutan. Problem solving, pertanyaan berupa masalah dan calon peserta didik diminta untuk memecahkannya. Stress interview, pertanyaan yang membuat calon peserta didik kesulitan dalam menjawab pertanyaan yang diberikan.

Calon peserta didik diberikan batasan waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pewawancara atau disebut terminasi. Ada sebuah pemberian kode yang menyatakan waktu untuk menjawab sudah habis. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi over time dalam wawancara sehingga wawancara berjalan dengan baik dan efisien.

Ada 4 kesalahan dalam wawancara yaitu hallo effect, leading question, personal biases dan dominasi pewawancara.

Langkah keempat seleksi adalah pemeriksaan referensi, yaitu pemeriksaan berkas atau dokumen calon peserta didik. Pertama, Personal references. Referensi ini berisi tentang kemampuan akademik, kemampuan finansial, dan kemampuan menjalani proses pendidikan dari personal calon peserta didik. Kedua, Performance references adalah referensi tentang prestasi calon peserta didik yang dibuktikan dengan fotocopy dokumen.

Langkah kelima yaitu evaluasi medis. Langkah ini merupakan seleksi yang di lihat dari segi kesehatan calon peserta didik. Pemeriksaan kesehatan ini dapat dilakukan secara mandiri oleh pihak sekolah atau melalui lembaga kesehatan. Dengan menggunakan lembaga kesehatan, tentunya sekolah harus mengeluarkan biaya. Maka jika sudah layak, sebaiknya evaluasi medis dilakukan secara mandiri terutama untuk efisiensi biaya.

Pengumuman keputusan diterima atau tidaknya pendaftar/calon peserta didik bisa dilakukan melalui media seperti papan pengumuman, surat, internet, koran, atau telepon.

Penempatan
Penempatan adalah proses membagi-bagi (menempatkan) siswa ke dalam kelas-kelas dengan range tertentu. Penempatan bisa didasarkan pada hasil seleksi, homogenitas, heterogenitas, jadwal belajar, gender, kemampuan akademik, alphabet, no urut pendaftaran, dan Lain-lain.

Orientasi
Orientasi berarti memperkenalkan siswa baru terkait hak dan kewajibannya terhadap lembaga pendidikan dan siswa lain. Proses orientasi bertujuan untuk memperkenalkan siswa baru kepada seluruh warga sekolah, mulai dari kepala sekolah hingga karyawan atau bahkan warga kantin. Memperkenalkan siswa baru dengan fasilitas (sarana-prasarana), gedung sekolah dan memperkenalkan tentang mekanisme/prosedur dalam pembelajaran, pembimbingan, dan ujian. Bentuk dalam orientasi ada dua: formal dan informal. Bentuk orientasi Formal itu berupa acara khusus seperti seminar, sedangkan informal (buddy system), berupa school tour dimana siswa baru diajak berkeliling sekolah dan diperkenalkan dengan lingkungan sekolah, fasilitas sekolah, ruang guru, TU, laboratorium, dll.

Rekruitmen Peserta Didik

Pendidikan sangatlah penting dan telah menjadi kebutuhan semua orang yang hidup di zaman sekarang ini. Lucunya, ketika dipertanyakan kembali kepada peserta didik tentang tujuan bersekolah, kerap kali peserta didik kesulitan menjawabnya atau bahkan mungkin selama ini mereka tidak tahu alasan mengapa mereka bersekolah. Untuk mengetahui jawabannya, kita harus faham fungsi-fungsi pendidikan yang dijalankan di sekolah, kampus, atau lembaga pendidikan lainnya.

• Perspektif Teknis/Ekonomi
Hal in berarti sebuah indikasi keberhasilan pendidikan ditunjukkan dari perubahan tingkat kesejahteraan. Kita bersekolah adalah dengan sebuah tujuan, yakni agar mendapat pekerjaan dan penghasilan yang baik. Keterampilan itu disesuaikan dengan spesifikasi kita ketika kuliah, dan selanjutnya adalah bagaimana kita mampu mengimplementasikannya serta mengembangkannya dalam kehidupan nyata. Jika seseorang telah menyelesaikan pendidikannya dan dalam jangka waktu tertentu ia belum juga mendapatkan perbaikan dari segi ekonomi/financial, bisa dikatakan pendidikan yang ditempuhnya selama in adalah gagal dan sia-sia.

Perspektif Sosial/Manusiawi
Dalam perspektif ini, pendidikan mengajarkan kita bagaimana berperan sebagai manusia, makhluk social. Artinya pendidikan mengajarkan bagaimana kita berkomunikasi dengan yang lain, bagaimana bersikap dan berprilaku, menanamkan nilai-nilai dan norma sopan santun dan moralitas, serta mengajarkan kita tentang sisi-sisi kemanusiaan. Sejauh kita menempuh pendidikan dan tidak ada perubahan sikap, perilaku, moralitas, jiwa social/kepedulian terhadap sesama, dan tidak dapat bekerja sama dengan angoota masyarakat yang lain, dapat dikatakan pendidikan itu telah gagal. Karena manusia yang berpendidikan sedah seharusnya bertatakrama yang baik, sopan, santun, dll.

Perspektif Politik
Pendidikan mengajarkan kita tentang kesadaran politik, bersiasat, hak dan kewajiban, wewenang. Bentuk nyatanya adalah partisipasi dalam berpolitik sebagai warga Negara dengan melaksanakan pemilu . kita kethaui Negara ini Negara hukum dan demokrasi. Jadi indicator ketika pendidikan dianggap sukses slah satunya adalah adalah dengan bentuk partisipasi politik (setidaknya memiliki kesadaran politik) baik pada tataran RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota, dan Indonesia. Karena jika berbicara politik, berarti berbicara kepentingan dan wewenang, berbicara tentang kepentingan dan wewenang, berarti berbicara tentang Negara, berbicara tentang Negara berarti berbicara tentang nasionalisme.

Perspektif Kultur
Perabadan merupakan tingkat kemajuan budaya suatu bangsa dalam jangka waktu tertentu. Peradaban lahir dari sebuah kultur/budaya yang ada di masyarakat. Diharapkan pendidikan dapat mencetak manusia-manusia yang dapat menanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur terhadap budaya hidup di mana ia memijakkan kaki. Menjaga, melestarikan budaya leluhur dan nilai-nilai baik, mengembangkannya agar lebih baik lagi, serta merubah budaya yang sekiranya tidak baik untuk dipertahankan. Yang pada akhirnya pendidikan, melalui outputnya, mampu membentuk sebuah peradaban.


Rekrutmen Peserta Didik

Lembaga pendidikan manapun memerlukan peserta didik. Oleh karena itu dibutuhkan suatu cara untuk membuat mereka datang dan mendaftar. Lembaga pendidikan harus menyosialisasikan/mempublikasikan keberadaannya kepada masyarakat dan membuat alat publikasi menjadi semenarik mungkin agar menarik minat masyarakat yang melihatnya. Hal ini disebut rekruitmen. Pelaksanaan yang dilakukan lembaga pendidikan tersebut bisa dilakukan sendiri untuk sekolah, secara kolektif atau melalui lembaga rekrutmen(recruiters).

Hal pertama yang harus diperhatikan dalam rekriutmen peserta didik adalah menentukan tujuan lembaga pendidikan. Tujuan akan menjadi landasan utama rekruitmen. Dari tujuan lembaga pendidikan, kita bisa menentukan karakteristik/kriteria peserta didik yang diinginkan dan tempat yang tepat untuk publikasi. Kedua, menentukan kriteria peserta didik yang akan direkruit. Penentuan ini berdasarkan pada tujuan organisasi. Ketiga, membuat estimasi (perkiraan) jumlah calon peserta didik secara keseluruhan. Tidak bisa kita menerima peserta didik sebanyak-banyaknya karena akan terbatasi oleh tempat, tenaga pendidik dan kependidikan yang tersedia. Jadi harus ada perkiraan batasan jumlah rekruitmen peserta didik. Keempat, menentukan jumlah peserta didik yang ada saat ini (jika sekolah bukan sekolah baru), dan yang terakhir, penentuan jumlah jumlah peserta didik yang akan diterima, tentunya sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan di poin kedua.


Sumber-sumber dalam rekrutmen
Walk-ins : calon peserta didik/orang tua datang ke lembaga pendidikan yang ingin dimasuki, mendaftar, dan pihak sekolah memberikan formulir pendaftaran untuk keperluan pendataan sekolah. Pendaftaran internet juga merupakan tipe dari walk-ins. Sumber yang kedua yaitu Advertising, sebuah teknik publikasi melalui media cetak maupun elektronik. Bisa melalui poster, selebaran, iklan di Koran, majalah ataupun radio, internet dan televise. Ada dua jenis advertising: want ad (informasi lengkap, termasuk biaya pendaftaran) dan blind ad (informasi terbatas). Sumber rekrutmen bisa juga melalui open house yang dihadiri oleh calon peserta didik.

Setelah melakukan rekruitmen, diadakan evaluasi. Evaluasi meliputi jumlah pendaftar, jumlah yang disusulkan untuk diterima, jumlah yang diterima, efektifitas saluran/media rekrutmen, pelaksana rekrutmen dan biaya.

Aplication Form (secara umum):
1. Data pribadi (nama, tempat tanggal lahir, gender, alamat, no telp, gol. darah)
2. Data keluarga (ibu, ayah, saudara)
3. Prestasi (akademik dan nonakademik)
4. Riwayat kesehatan
5. Status sosial ekonomi ( penghasilan orangtua, kepemilikan tempat tinggal)
6. dll.

Beberapa kendala rekruitmen diantaranya: Kebijakan organisasional, seputar kenaikan kelas, kelulusan, dan mutasi, serta biaya pendidikan yang mahal, dan juga penerimaan siswa lokal atau luar kota. Semua itu akan mempengaruhi daya tarik sekolah dan minat peserta didik. Adanya supply (persediaan) and demand (permintaan) calon peserta didik yang ditujukan untuk lembaga pendidikan yang akan diterima. Kendala eksternal dapat berupa kondisi ekonomi dan sosial masyarakat, serta persaingan dengan lembaga pendidikan yang lain.

02 Januari 2010

Wawasan Wiyata Mandala dan Wawasan Almamater

Wawasan Wiyatamandala
Dengan memperhatikan kondisi sekolah dan masyarakat dewasa ini yang umumnya masih dalam taraf perkembangan, maka upaya pembinaan kesiswaan perlu diselenggarakan untuk menunjang perwujudan sekolah sebagai Wawasan Wiyatamandala.
Berdasarkan surat Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah nomor :13090/CI.84 tanggal 1 Oktober 1984 perihal Wawasan Wiyatamandala sebagai sarana ketahanan sekolah, maka dalam rangka usaha meningkatkan pembinaan ketahanan sekolah bagi sekolah-sekolah di lingkungan pembinaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen pendidikan dan kebudayaan, mengeterapkan Wawasan Wiyatamandala yang merupakan konsepsi yang mengandung anggapan-anggapan sebagai berikut.
• Sekolah merupakan Wiyatamandala (lingkungan pendidikan) sehingga tidak boleh digunakan untuk tujuan-tujuan diluar bidang pendidikan.
• Kepala sekolah mempunyai wewenang dan tanggung jawab penuh untuk menyelenggarakan seluruh proses pendidikan dalam lingkungan sekolahnya, yang harus berdasarkan Pancasila dan bertujuan untuk:
1. Meningkatkan ketakwaan teradap Tuhan yang maha Esa,
2. Meningkatkan kecerdasan dan keterampilan,
3. Mempertinggi budi pekerti,
4. Memperkuat kepribadian,
5. Mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air.
• Antara guru dengan orang tua siswa harus ada saling pengertian dan kerjasama yang baik untuk mengemban tugas pendidikan.
• Para guru, di dalam maupun di luar lingkungan sekolah, harus senantiasa menjunjung tinggi martabat dan citra guru sebagai manusia yang dapat digugu (dipercaya) dan ditiru, betapapun sulitnya keadaan yang melingkunginya.
• Sekolah harus bertumpu pada masyarakat sekitarnya, namun harus mencegah masuknya sikap dan perbuatan yang sadar atau tidak, dapat menimbulkan pertientangan antara kita sama kita.
Untuk mengimplementasikan wawasan Wiyatamandala perlu diciptakan suatu situasi di mana siswa dapat menikmati suasana yang harmonis dan menimbulkan kecintaan terhadap sekolahnya, sehingga proses belajar mengajar, kegiatan kokurikuler, dan ekstrakurikuler dapat berlangsung dengan mantap.
Upaya untuk mewujudkan wawasan Wiyatamandala antara lain dengan menciptakan sekolah sebagai masyarakat belajar, pembinaan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), kegiatan kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstra-kurikuler, serta menciptakan suatu kondisi kemampuan dan ketangguhan yakni memiliki tingkat keamanan, kebersihan, ketertiban, keindahan, dan kekeluargaan yang mantap.
(www.wikipedia.com)
• Wawasan Wiyata Mandala adalah suatu pandangan atau sikap menempatkan sekolah sebagai lingkungan pendidikan. Suatu wawasan proses pembudayaan tata kehidupan keluarga besar, dimana para anggotanya merasa ikut memiliki, melindungi dan menjaga citra dan proses wibawa tersebut. Suatu lingkungan dimana terjadi proses koordinasi, proses komunikasi, tempat saling bekerja sama dan bantu membantu.
• Makna yang terkandung dalam proses pendidikan Wiyata Mandala adalah :
1. Sekolah hendaknya betul-betul menjadi tempat terselenggaranya proses belajar mengajar tempat dimana ditanamkan dan dikembangkan berbagai nilai-nilai ilmu pengetahuan, keterampilan dan wawasan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Nasional yaitu manusia yang cerdas, siap kerja, menguasai ilmu dan tehnologi tetap berakar pada nilai-nilai budaya bangsa.
2. Sekolah sebagai masyarakat belajar, dimana terjadi proses interaksi antara siswa, guru dan lingkungan sekolah, maka dalam kehidupan sekolah berperan unsur dan macam macam satuan, seperti; kepala sekolah, guru, orang tua siswa, para siswa, pegawai dan hubungan timbal balik antara sekolah dengan masyarakat dimana sekolah itu berada.
3. Sekolah sebagai tempat terselenggaranya proses belajar mengajar, tempat terjadinya proses pembudayaan kehidupan hanya dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya apabila di lingkungan sekolah tersebut dapat diciptakan suasana aman, nyaman, tertib dari segala ancaman.
Tujuan Wawasan Wiyata Mandala adalah diharapkan seluruh siswa dapat berperan aktif dalam meningkatkan fungsi sekolah sebagai lingkungan pendidikan. Aktivitas dan kreativitas siswa sangat diperlukan untuk menciptakan sekolah sebagai masyarakat belajar, tempat saling asah, saling asih, dan saling asuh yang dibimbing oleh kepala sekolah dan guru yang dapat mendorong semangat dan minat belajar. Hal yang sangat penting bagi siswa adalah dapat mendudukkan dan menempatkan diri sesuai dengan fungsinya sebagai warga wiyata.
(http://smpn1bpn.sch.id/index.php?option=com_content&task=view&id=13&Itemid=34)
Wawasan Almamater
Alma mater, atau kadang-kadang ditulis tersambung sebagai almamater, Almamater adalah istilah dalam bahasa Latin yang secara harafiah berarti "ibu susuan". Penggunaan istilah ini populer di kalangan akademik/pendidikan untuk menyebut perguruan tempat seseorang menyelesaikan suatu jenjang pendidikan. Walaupun sering dipakai di kalangan pendidikan tinggi, istilah ini sebetulnya pernah dipakai di masa Romawi Kuno untuk menyebut dewi ibu dan di kalangan Kristen Eropa Abad Pertengahan dipakai untuk merujuk Perawan Maria.

(Sumber Kep. MENDIKBUD No. 0319/U/1983 tanggal 22 Juli 1983)
Wawasan Almamater adalah konsepsi yang mengandung anggapan-anggapan sebagai berikut :
1. Perguruan Tinggi harus benar-benar merupakan lembaga ilmiah, sedang kampus harus benar-benar merupakan masyarakat ilmiah.
2. Perguruan Tinggi sebagai Almamater (Ibu Asuh) merupakan suatu kesatuan yang bulat & mandiri dibawah pimpinan Rektor sebagai pimpinan utama.
3. Keempat unsur Sivitas Akademika, yakni Pengajar, Karyawan Administrasi, Mahasiswa serta Alumnus harus manunggal dengan Almamater, berbakti kepadanya dan melalui Almamater mengabdi kepada rakyat, bangsa dan negara dengan jalan melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
4. Keempat unsur sivitas akademika dalam upaya menegakkan Perguruan Tinggi sebagai lembaga ilmiah dan kampus sebagai masyarakat ilmiah melaksanakan Tri Karya, yaitu :
o Institusionalisasi (pembentukan institusi-institusi)
o Profesionalisasi (proses memantapan profesi-profesi)
o Transpolitisasi (mempelajari politik, politicking)
5. Tata krama pergaulan di dalam lingkungan Perguruan Tinggi dan kampus di dasarkan atas azas kekeluargaan serta menjujung Tinggi keselarasan dan keseimbangan sesuai dengan pandangan hidup Pancasila.
Trikarya
Sub 4 Wawasan Almamater adalah :
1. Institusionalisasi
2. Profesionalisasi
3. Transpolitisasi
Institusionalisasi
Institusi adalah Suatu proses atau kelompok yang sangat terorganisasi ( ada spesifikasi yang cermat daripada peranan dan hubungan antar peranan bagi yang bersangkutan), tersistematisasi (ada spesifikasi yang cermat daripada apa yang dapat dan harus dilakukan), dan mantap (eksistensi proses atau kelompok tidak tergantung pada hadirnya individu-individu tertentu, sedangkan organisasi dan sistematisasi cenderung untuk tidak berubah-ubah dalam jangka waktu yang lama ).
Institusionalisasi adalah pembentukan institusi-institusi.
Profesionalisasi
Profesi adalah bukan sekedar pekerjaan atau vacation, melainkan merupakan suatu vakasi yang khusus, yang mempunyai ciri-ciri :
1. Expertise (keahlian)
2. Responsibility (tanggung jawab)
3. Corporateness (kesejawatan)
Profesionalisme adalah proses memantapan profesi-profesi.
Transpolitisasi
Mengandung dua hal :
1. Kegiatan mempelajari politik untuk memperoleh kesadaran politik untuk kemudian melangkah terus dan melakukan kegiatan ilmiah guna melaksanakan keputusan-keputusan politik yang diambil secara sah oleh seluruh rakyat melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2. Jika ingin melakukan politicking tidak boleh mengatasnamakan Almamater dan harus diluar lingkungan kampus.
(http://www.usm.ac.id/index.php?pModule=mahasiswa&pSub=wawasan_almamater&pAct=view)
Wawasan Wiyata Mandala dan Wawasan Almamater sangatlah erat dengan ciri khas sekolah yang membuatnya berbeda dan warga sekolah pun merasa bangga menjadi bagian dari warganya. Sebutlah SMA Pangudi Luhur, Brawijaya, Jakarta Selatan yang hanya diperuntukkan bagi peserta didik putra, dan jika nilainya bagus (rata-rata di atas 7,5) diperbolehkan untuk berekspresi ala remaja masa kini semisal rambut gondrong dan sepatu bebas. Bagaimana sekolah memberikan bargaining position kepada peserta didik untuk memilih pilihannya sendiri dengan konsekuensi-konsekuensi yang tentunya sepadan. Stimulus ini membuat siswa termotivasi secara baik dari luar. Atau SMA Tara Kanita yang terkenal dengan sekolah wanita karena seluruh muridnya adalah wanita. Kita bisa lihat lagi SMA Kanisius, bekas sekolah Ade Rai, Akbar Tandjung, Fauzi Bowo dan Soe Hok Gie, yang memiliki ketegasan luar biasa kepada muridnya perihal akademik dan kejujuran, yakni bila didapati siswa mencontek atau mendapat nilai di bawah 6, siswa akan dikeluarkan dari sekolah. SMA Xaverius 1 Palembang yang kental dengan kedisiplinannya dan mengambil suster/biarawati sebagai pengajarnya. SMA Gonzaga yang terkenal dengan apresiasi seni yang tinggi, siswa laki-lakinya pun diperbolehkan berambut panjang (gondrong) namun perihal prestasi akademik, tidak perlu ditanya. Nurul Fikri atau Al-Azhar yang merupakan sekolah bernafaskan ISLAM juga memliki ciri khas yang membedakannya dengan sekolah yang lain. Dimana pengelolaan peserta didik dilakukan dengan tata cara dan pendekatan spiritual.
Hal-hal semacam inilah yang membuat sekolah berbeda, memiliki karakter dan ciri khas, yang membuat seluruh keluarga besar sekolah mencintainya, menjaganya sehingga tumbuh rasa memiliki yang tinggi dan kebanggaan terhadap sekolah. Kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, alumni bahkan tukang lontong sayur yang berjualan pun akan menjawab dengan bangga ketika ada orang bertanya “kerja dimana?” atau “sekolah dimana?” atau “ngajar dimana?” atau “alumni mana?” atau “dagang dimana?”
Pertanyaannya, bagaimana dengan sekolah kita? Apakah kita bangga pernah menjadi bagian dari SD, SMP, atau SMA yang sudah kita tinggalkan? Apakah kita akan menjawab dengan bangga ketika ditanya “alumni mana?” atau “kuliah dimana?” banggakah kita? Atau biasa-biasa saja? Atau bahkan MALU? Apapun jawabannya, inilah salah satu dari implikasi dari pelaksanaan wawasan wiyata mandala dan wawasan almamater di suatu satuan pendidikan.

Permasalahan
Saya temui seorang alumni SMA N 4 Depok tahun 2009 kemarin di info profil FBnya menuliskan bahwa ia alumni SMA N 8 Jakarta. Di sini kita dapat melihat adanya ketidakbanggaan, dalam dirinya terhadap sekolah yang bagaimanapun telah mengantarkannya ke bangku perkuliahan sekarang.

Faktor Penyebab
1. Kurangnya kualitas layanan dan pengelolaan peserta didik di sekolah
2. Fasilitas yang kurang memadai atau memadai tapi tidak pernah digunakan
3. Guru-guru yang kurang professional dan kurang bersahabat, guru lebih dianggap sebagai oknum penegak hukum dari pada pendidik
4. Terlalu banyak aturan yang mengekang kebebasan berekspresi
5. Letak geografis yang terpencil atau di “kampung”
6. Secara akademik, tidak memiliki rating yang terlalu tinggi atau bahkan rendah
7. Sekolah tidak memiliki ciri khas yang membanggakan, yang ada hanya wc kotor, sedikit, lusuh, meja penuh coretan, bangku reot goyang-goyang, tembok retak, atap bocor, kantin kecil, harga makanan mahal, guru sogokan, guru killer, guru sibuk di luar, razia rambut gondrong, sepatu kates, baju keluar, video porno, dll

Solusi
1. Perbaiki layanan dan pengelolaan peserta didik
2. Pengadaan dan pendayagunaan fasilitas yang ada
3. Adakan pelatihan untuk menjadi guru yang baik dan mampu memiliki hubungan emosional yang positif dengan siswa
4. Jangan terlalu banyak aturan yang mengekang, tapi ciptakan bargaining position (posisi tawar) untuk siswa
5. Buat program pengembangan kurikulum untuk meningkatkan akademik siswa semacam quantum learning
6. Buat ciri khas sekolah yang dapat dibanggakan

Translate Bab 14

Penilaian mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan
“Hal yang sangat mengejutkan saya ketika saya beralih dari praktek klinik swasta dan bekerja di sebuah dewan sekolah adalah kepercayaan sebagian besar guru terhadap tes. Kepercayaan semacam itu bukanlah hal yang mengejutkan dalam praktek klinik karena anda berhubungan dengan masyarakat umum. Tetapi guru itu profesional. Saya lebih berharap mereka sedikit bersikap-bagaimana saya mengatakannya-agnostik? Maksud saya, ujian bisa membantu, tapi itu tergantung kepada orang yang memberikan tes. Tes hanya akan baik jika orang yang memberikannya juga baik.”
-Ed Seip

Peran Penilaian
Jika dasar dari pendidikan khusus adalah Perencanaan Pendidikan Individu, maka langkah pertama untuk membangun pondasi penting tersebut adalah penilaian pendidikan. Ketika siswa dinilai, informasi yang relevan dikumpulkan dan diterjemahkan/ditafsirkan dari berbagai sumber, seperti penilaian berbasis kurikulum oleh guru, tes formal terhadap sikap dan kemampuan siswa, pengamatan oleh guru, asisten dan orang tua. Apa yang didapat, setidaknya secara teoritis, adalah sebuah pemahaman yang mendalam tentang kemampuan, kecerdasan, kekuatan, kebutuhan dan perilaku siswa luar biasa. Penemuan-penemuan tersebut membantu dalam pengambilan keputusan yang lebih terdidik. Permasalahan tentang penempatan, dan tentu saja struktur dan isi dari program siswa, semuanya bisa diperbaiki melalui penilaian yang cakap. Evaluasi yang merupakan tindak lanjut dari keberhasilan ataupun kegagalan program, atau tentang perlunya dilakukan modifikasi terhadap program tersebut, hampir selalu mengacu pada penilaian awal sebagai perbandingan.

Sempat dianggap sebagai sebuah bidang khusus/eksklusif yang diperuntukkan bagi para spesialis, kini penilaian lebih dianggap sebagai pencapaian berorientasi tim dengan partisipasi dan tanggung jawab yang diperankan oleh beberapa orang tertentu, terutama guru kelas, orang yang paling memungkinkan untuk menyampaikan program. Pihak-pihak lain yang terlibat, mencakup orang tua murid (dan terkadang, dalam beberapa kasus remaja, murid itu sendiri), asisten, guru pendidikan khusus (yang bertanggung jawab atas investigasi yang lebih formal), dan jika perlu, staff tersedia dan terjangkau, serta beberapa macam individu dengan keahlian khusus.

Kenyataan dari “Kemungkinan yang Kurang Tepat”
Bukan masalah sejauh mana guru menginginkan informasi yang spesifik tentang murid-muridnya, dan juga bukan masalah sejauh mana kita terbudayakan kepada keyakinan bahwa kebenaran dapat ditunjukkan, namun faktanya adalah hal terbaik yang dapat dihasilkan dari penilaian pendidikan adalah semacam “kemungkinan yang kurang tepat” (loose probability). Tetap saja, meskipun kurang tepat, itu merupakan kemungkinan yang penting untuk diperhitungkan. Pendidikan itu sendiri bukanlah pengetahuan alam yang bersifat eksak, dan pengajaran efektif lebih dekat kepada pemahaman seni dari pada sekedar instruksi mekanik. Penilaian menyediakan informasi yang dikumpulkan dengan cara yang terorganisasi, sekurang-kurangnya ia memperkuat objektivitas penilaian, sebuah gambaran tentang orang-orang yang bekerja dengan peserta didik. Hal terbaiknya adalah ia bisa menunjukkan faktor-faktor yang tidak seorangpun tahu atau bahkan menduganya.

Diakui bahwa ada alasan untuk menaruh keraguan tentang beberapa prosedur dan komponen dalam penilaian dan sangat memungkinkan, alasan untuk berhati-hati terhadap hasil penilaian, tetapi untuk mengabaikan kemungkinan kontribusi dari sebuah penilaian efektif untuk kasus siswa luar biasa tentu merupakan tindakan yang merugikan. Penilaian memiliki peran penting untuk dijalankan. Yang menentukan kualitas dari peran tersebut adalah kualitas prosedur penilaian dan bagaimana hasil penilaian diinterpretasikan dan diterapkan.

Kapan Penilaian dinyatakan Selesai?
Ada yang berpendapat bahwa penilaian dilakukan setiap saat di sekolah. Apakah memonitoring perilaku siswa di gedung sekolah, mengamati ketika siswa melempar bola basket di gedung olah raga atau mengevaluasi siswa ketika tes menulis, guru selalu siap terhadap kemungkinan untuk mengumpulkan data yang akan mengembangkan program dan mengidentifikasi kebutuhan atau kekuatan dari siswa. Penilaian merupakan bagian penting dari pengajaran. Memilih kapan waktu untuk menilai, apa yang akan diamati, bagian tugas yang mana yang akan dimasukkan ke dalam portofolio, atau memilih siapa yang akan mendengarkan dalam materi membaca-ini adalah semua bagian dari tantangan harian untuk guru.

Bagaimanapun, untuk siswa luar biasa, prosesnya berupa penilaian hari per hari yang dibuat oleh guru. Sebagai contoh, dalam situasi dimana masalah dapat diselesaikan dengan sedikit bantuan, guru akan akan membawa kasus siswa luar biasa ini sebelum masuk ke lingkungan sekolah. Jika begitu, ia biasanya akan mempersiapkan untuk ini, rujukan dengan membuat inisial penilaian berdasarkan pengamatan, penampilan di kelas, portofolio, sampel dari hasil pekerjaan siswa dan mungkin skala rating dengan ceklis (khususnya pada kasus potensi ‘perilaku’). Merupakan hal yang tidak biasa bagi guru untuk terlibat dalam penilaian berbasis kurikulum: mengumpulkan informasi dalam suatu periode waktu, seputar kemampuan siswa dalam bagian kurikulum tertentu (seperti membaca atau matematika).

Ketika kondisi siswa lebih rumit dan memerlukan banyak perhatian, lalu disamping penilaian yang telah diuraikan di atas, lebih intensif/terperinci, formal, dan prosedur khusus (semacam tes IQ atau pencapaian hasil tes yang telah ditentukan, atau pada beberapa kasus, tes diagnostic) akan dilaksanakan. Satu poin ketika penilaian yang kompleks dan menyeluruh telah mantap untuk dilaksanakan adalah pengembangan IEP.

Sekiranya ketika siswa sedang diidentifikasi sebagai siswa luar biasa dengan IPRC, penilaian cenderung menjadi sangat teliti dan berhati-hati. Biasanya, informasi dikumpulkan melalui beberapa sumber, dan berbagai macam strategi penilaian pun diterapkan. IPRC lalu akan menggunakan data ini untuk membantu dalam mengidentifikasi siswa luar biasa, dan untuk membantu dalam memutuskan penempatan yang sesuai. Data yang telah terkumpul lalu digunakan dalam pengembangan IEP siswa. Pada tahap pengulasan, data hasil penilaian ini akan lebih dalam lagi digunakan, terkini dan berharap bisa didapatkan informasi tambahan yang berbeda.
Hingga kini prosedur yang lain tengah dalam “penyaringan”. Hal ini (dengan jelas) bersifat formal tapi prosedur yang kompleks digunakan untuk memutuskan apakah tes tambahan dibutuhkan atau tidak. Sekelompok siswa disaring berdasarkan prestasi atau melalui tes kemampuan kognitif atau instrumen-instrumen lainnya. (Beberapa dewan sekolah memiliki sistem penyaringannya sendiri untuk digunakan bersama, atau pada tempat tertentu, yang secara komersil mampu mengumumkan tentang tes tersebut) Tujuannya adalah untuk menemukan sesuatu yang belum pernah ditemukan (discovery), secara garis besar, mencari tahu apakah ada siswa yang bermasalah atau berpotensi berbakat. Siswa-siswa tersebut lalu biasanya dinilai lebih jauh dan lebih formal untuk memperkuat apakah mereka bermasalah (risk) atau berbakat (gifted). Penyaringan akan dilakukan pada masa sebelum sekolah (preschool) dimana anak akan memasuki sekolah. Mereka akan disaring atau dites daya penglihatannya, pendengaran dan kesiapan umum. Selanjutnya dalam karir siswa, penyaringan membantu untuk mengidentifikasi siswa yang dinilai untuk berubah kepada kriteria performa normal. Siswa-siswa ini lalu akan dites lebih lanjut untuk menilai perbedaan alaminya.

Siapa yang melakukan Penilaian?
Penilaian oleh guru akan menghabiskan waktu seharian dengan siswa, proses, dan tentu saja dimulai di kelas. Adalah guru yang dapat mengamati dengan sangat baik respon siswa terhadap teks, reaksi mereka terhadap lingkungan fisik sekitar, dan hubungan dengan sebaya dan orang dewasa. Guru mengumpulkan sampel dari hasil kerja siswa: catatan harian, ujian, dan portofolio. Ini adalah instrumen-instrumen yang bersama opini dan pandangan guru secara professional, menetapkan inisial, dasar, dan sering kali, informasi yang terpenting. Test lebih lanjut (dan pengamatan) mungkin akan diselesaikan oleh guru pendidikan khusus dari sekolah. Kombinasi ini dengan jelas memiliki keuntungan bagi dua (atau lebih) guru. Lalu diharapkan dapat kooperatif dalam langkah selanjutnya: mendesain program penilaian tidak langsung.
Pada kewenangan/tingkatan yang lebih tinggi, sering kali ada bagian tertentu yang bertanggung jawab terhadap penilaian, dikenal dengan descriptor, diantaranya pelayanan psikologi, psych-support, dll. Unit ini melaksanakan hampir semua penilaian untuk pendidikan khusus di luar kelas. Psikolog, atau personil kerja dibawah bimbingannya dan pengawasan langsung, berperan banyak dalam penilaian. Kewenangan/tingkatan yang lebih rendah membuat penyusunan alternatif dimana kelas dan guru pendidikan khusus mungkin diberikan tanggung jawab yang lebih dalam penilaian formal. Bagaimanapun kebanyakan dewan sekolah, walaupun kecil, memiliki tipe penilaian ini.

Beberapa dewan sekolah yang lebih besar mungkin memakai ahli bahasa dan pidato untuk menilai siswa dalam hal kesulitan berbahasa. Penyaringan fisik seputar penglihatan dan pendengaran umumnya di dilakukan oleh perawat kesehatan masyarakat. Penilaian tersebut dilakukan oleh physiotherapists dan juga orang yang bekerja di ranah terapi. Penilaian ini berada di luar kewenangan dan kemampuan dewan sekolah, walaupun sekolah, melalui kerjasama dengan orang tua murid meminta sejumlah penilaian kepada tim penilai.

Orang tua terkadang memperoleh penilaian secara pribadi, kendatipun melalui hukum, mereka memiliki akses untuk memperoleh data yang sekolah miliki. Mereka bisa meminta data ini kepada sekolah (atau kepada IPRC) atau, mereka juga bisa memilikinya.

Komponen Penilaian
Sebagian besar informasi penilaian yang dikumpulkan tentang siswa tergantung pada apa yang siswa lakukan (pengamatan langsung), pengumpulan sistematik terhadap hasil kerja siswa, diskusi dan informasi yang dibagi oleh stakeholders dalam pendidikan anak (termasuk orang tua, tentunya), dan akhirnya, ujian. Menurut sejarah, dalam pendidikan khusus, penekanan ditempatkan pada elemen terakhir. Dongeng tentang ujian telah sering memuramkan dan bahkan membuat tindakan terhadap kepentingan dari siswa luar biasa menjadi terlambat. Frasa “Kita sedang mengujinya” merupakan hal yang sering terdengar, dan tidaklah aneh bagi guru untuk frustasi dalam menunggu hasil sebelum memodifikasi program. Keuntungan dari lebih terformalisasinya model ujian sebenarnya dapat memberitahukan proses perencanaan program. Tapi untuk beberapa waktu sekarang ini, pengalaman dari pendidikan khusus mengajarkan bahwa ujian formal hanya satu komponen dari proses yang lebih kompleks; yang dimulai oleh guru di kelas, menduga sesuatu, mengambil tindakan dari dugaan tersebut, dan akhirnya mencoba strategi yang memungkinkan untuk memperbaikinya.

The ‘Battery’
Aneh, perangkat yang membuat penilaian formal sering dijelaskan secara bersamaan dalam sebuah istilah angkatan bersenjata: penilaian ‘battery’ (suatu unit dalam angkatan bersenjata berikut persenjataannya, dipimpin oleh seorang kapten). Apa yang diamati di sini adalah penjabaran dari komponen-komponen yang mungkin digunakan dalam battery, walaupun beberapa diantaranya akan hampir selalu termasuk di dalamnya. (ini sulit, sebagai contoh, untuk menyatakan bahwa sebuah penilaian akan berguna dan valid tanpa pengamatan dari guru dan asistennya) Keputusan tentang komponen apa saja yang akan digunakan, secara khusus diatur oleh sekolah dan kebijakan dewan sekolah.

Sebagai contoh, banyak dewan sekolah memiliki syarat yang kompleks dan ketat untuk mengidentifikasi siswa sebagai siswa berbakat dan memerincikan bahwa beberapa instrument tes digunakan sebagai bagian dari prosedur identifikasi. Beberapa dewan sekolah menghindari atau bahkan melarang penggunaan dari komponen tertentu. Meskipun demikian, sekali sekolah dan kebijakan dewan sekolah bertemu, bagaimana penilaian sebenarnya diatur, dan apa kegunaannya, akan secara khusus menjadi pilihan dari personil professional yang terlibat. Pilihan itu akan sangat bergantung pada pengetahuan mereka, kompetensi dan kesukaan pribadi.

Informal Tes (buatan guru)
Perkembangan tingkat kesadaran tentang benefit ketika penilaian diatur oleh orang yang bekerja secara langsung dengan siswa, berarti telah terjadi sebuah peningkatan dalam penggunaan dan penerimaan terhadap sebuah alat ukur informal yang didesain oleh guru kelas. Kerugian dari alat ukur ini adalah tidak adanya kaidah dalam pelaksanaannya, dan dengan demikian mereka biasanya tidak mau menerimanya di luar situasi terdesak. Namun demikian, itu bukan tujuannya. Keuntungannya adalah tes informal sering kali dapat disesuaikan untuk menghadapi kebutuhan khusus. Sebagai contoh, sebuah tes informal bisa didesain untuk memberitahukan ada atau tidak adanya kemampuan yang sangat khusus yang dimiliki siswa. Oleh karena itu ia mampu menyediakan gambaran tentang mengapa dan kapan siswa gagal untuk memahami sebuah kompetensi/skill sebagai pengganti dari penegasan secara sederhana bahwa siswa tidak dapat memahami skill tersebut.

Alat ukur informal yang lain bisa mencakup guru, menggunakan bagian dari rating scales (tingkatan skala ukur) dan ceklis, maka ia dapat lebih pasti untuk menutupi semua poin. Di sini, inventaris informal sangat berguna.

Penilaian Berbasis Kurikulum
Konsep ini melibatkan pengukuran kemampuan siswa berdasarkan apa yang diharapkan oleh kurikuler yang telah dirancang oleh sekolah. Banyak peneliti beranggapan bahwa penilaian berbasis kurikulum, meskipun penjelasan dan argument menyertainya, tidak terlalu berbeda dengan cara evaluasi di sekolah yang telah dilaksanakan dengan baik sebelum pendidikan khusus menjadi sesuatu yang dianggap biasa. Dalam kasus siswa luar biasa, beberapa orang mencela bahwa penilaian berbasis kurikulum bukanlah alternatif sesungguhnya, karena semua itu benar-benar mempertegas bahwa siswa tidak memberikan respon yang sesuai dengan kurikulum, sebuah fakta yang sudah sangat jelas.
Pihak yang mendukung penilaian berbasis kurikulum membantah, bagaimanapun, penilalian berbasis kurikulum menekankan pada identifikasi terhadap siswa secara personal, unik dan memiliki karakteristik yang kompleks sebagaimana ia terhubung secara langsung kepada kurikulum, dan keunikan ini sangat unggul untuk jenis penilaian yang hanya menetapkan adanya beberapa kekurangan/kecacatan.

Agar dapat berjalan efektif, penilaian berbasis kurikulum harus dilaksanakan secara berkesinambungan; penilaian ini seharusnya spesifik; hasil penilaian seharusnya dianggap sebagai alasan terhadap penyesuaian instruksi, mungkin, selain hanya menentukan bagaimana keadaan siswa; dan, ujian harus mempertimbangkan hal-hal kecil, sub-skill yang diperoleh selain kemahiran dalam menghadapi masalah global.

Tes Formal
Tes Kecerdasan

Tes kecerdasan tradisional menjadi popular di Ontario terlepas dari keprihatinan banyak pendidik tentang nilai (value) dari prosedurnya. Secara umum, tes IQ memberikan penilaian yang relatif akurat tentang apa yang siswa telah pelajari (dan bagaimana daya ingatnya) dan tentang apa yang telah mereka alami sejauh ini dalam hidupnya. Dalam pengertian ini, tes IQ adalah ukuran kemampuan siswa untuk saat ini. Yang selanjutnya menjadi perdebatan adalah apa langkah-langkah tes potensi intelektual? dan dengan demikian dapat secara sah tes IQ dianggap sebagai alat prediksi kinerja sekolah masa depan. Meskipun terdapat beberpa keprihatinan, instrumen IQ terus digunakan untuk tujuan itu. Di antara beberapa tes IQ yang tersedia secara komersial, yang paling banyak digunakan sejauh ini di provinsi Ontario, adalah Wechsler Intelijen Scale for Children III, yang dikenal sebagai WISC III.

Tes Proyektif
Psikologi Gestalt dan metode psikoanalitik mengusulkan bahwa seorang individu akan merancang kehidupan pribadinya, khususnya perasaan batinnya, ketika dihadapkan dengan stimulus yang ambigu seperti sebuah gambar inkblot. Ketika diminta untuk membuat gambar dari sebuah situasi atau objek atau ketika diminta untuk menjelaskan "apa yang terjadi di sini?", sementara yang ditunjukkan gambar, seorang individu akan-menurut teori ini-mengekspos lebih dalam daripada jika kita tanya secara langsung. Tes proyektif telah dikritik keras karena kurangnya norma-norma, tidak cukup standardisasi, sepenuhnya interpretasi subjektif, dan bahkan lebih mengungkapkan tentang si pemeriksa/penilai dari pada subjek itu sendiri (siswa)! Meskipun penggunaannya telah menurun secara drastis di Ontario, ia masih muncul di beberapa penilaian. Beberapa contoh adalah Rorschach Inkblot Test (1932) dan Human Figure Drawing Test (1968).

Tes Prestasi Akademik
Ini adalah instrumen tes resmi yang paling banyak digunakan dari semua-dan mungkin yang paling disalahgunakan. Ada tes prestasi untuk kelompok besar dan ada tes individu. Administrator dari tes prestasi bisa siapa pun, mulai dari guru kelas hingga psychometrist profesional.
Penerbit menyediakan detil administrasi manual dan merekomendasikan bagi para penilai/pemeriksa untuk menghadiri seminar. Dalam pendidikan khusus, sering kali tes prestasi digunakan sebagai tes penyaringan. Kegunaan yang lain, termasuk diantaranya perbandingan umum, karena hasil tes dihitung dalam term result-disebut norma-berkembang meluas, populasi yang dipilih secara acak. Dengan kata lain, pengambil tes menunjukkan di mana mereka melakukan tes, relatif terhadap populasi umum.

Test Diagnostik
Istilah ini menyesatkan. Tes ini tidak mendiagnosis dalam pengertian mutlak, tetapi lebih kepada informasi spesifik terkini tentang kemampuan siswa di bidang tertentu. Tujuan sebenarnya dari tes ini adalah untuk menyarankan bagian mana saja yang perlu perbaikan. Sub-tes dari Woodcock Reading Mastery tes-Revised (1987), misalnya, berurusan dengan bidang-bidang tertentu seperti 'serangan kata', 'identifikasi kata', dan 'pemahaman kata', mungkin memberikan indikasi tentang sejauh mana siswa berkompeten dalam bidang ini. Para pengkritik meragukan tes diagnostic ini. Namun, mereka mengakui hal itu mungkin karena nilai dalam bidang seperti matematika, di mana langkah-langkah dalam proses pengurangan, misalnya, dapat dipecah dan diterangi lebih jelas.

Tes Kemampuan Kognitif
Juri masih terlalu acuh terhadap persoalan apaka tes kemampuan kognitif adalah hal yang berbeda dari tes IQ dengan instrumen telah dipakai. Kognisi adalah tentang berpikir. Apakah pengujian untuk daya pikir adalah berbeda dari tes IQ bisa diperdebatkan. Dalam Ontario, pendukung perbedaan umumnya memilih Test Kemampuan Kognitif Kanada (1983)

Perkembangan dan Tes Kesiapan
Hal ini diatur oleh guru kelas-terutama guru kelas awal-untuk menentukan tingkat kemampuan siswa. Bagi siswa yang luar biasa, tujuan mereka secara umum adalah untuk penyaringan. Instrumen ini sangat sering digunakan bersama dengan daftar periksa (checklist) dan keterampilan siswa. Tes kesiapan dan pengembangan yang populer di Ontrario, adalah Boehm Test of Basic Concepts-Revised (1986) dan Brigance Inventories, (beragam).

Rating Scales, Inventories dan Daftar Periksa (checklist)
Instrumen ini biasanya menawarkan pernyataan deskriptif tentang bidang-bidang seperti perilaku, sikap, harga diri, perawatan diri, dan sebagainya, dalam daftar. Setiap item dalam daftar diikuti oleh peringkat frekuensi atau kadang-kadang hanya dengan keterangan 'ya' atau 'tidak'. Tanggapan yang dimasukkan oleh guru, asisten pendidikan, orangtua, pekerja sosial, atau pekerja perawatan anak. Sebuah contoh yang cukup popular dan relevan dari jenis ini adalah Child Behavior Checklist (1983).
Beberapa skala rating dirancang untuk dapat diselesaikan oleh siswa. The Coopersmith Self-Esteem Inventory (1983) misalnya, sekarang pernyataan kepada siswa seperti "Saya sering berharap saya adalah orang lain" diikuti dengan "seperti saya…… 'dan" tidak seperti saya……'.

Hasil dari skala tersebut sering kali digunakan untuk menentukan profil perkembangan dari mana pendidikan atau sosial atau tujuan perawatan diri dikembangkan. Kadang-kadang, informasi yang dapat digunakan untuk menunjukkan tingkat perkembangan, dan kadang-kadang keputusan tentang penempatan misalnya, akan dipengaruhi oleh tingkat yang ditunjukkan. Perilaku adaptif yang AAMD Skala: School Edition (1981) sering disebut sebagai perilaku adaptif 'tes' yang sering digunakan dengan cara ini. Skala penilaian jenis instrumen jelas mengundang subjektivitas, dan yang menarik, tipe ini dipuji dan dikritik karena faktor ini.

Wawancara dan Informal Komentar:
Guru dan Orangtua

Prosedur penilaian yang efektif akan mencari pendapat dari orang dewasa yang bertanggung jawab terkait dengan, dan memiliki tanggung jawab untuk, siswa langsung. Di Ontario, kebanyakan sekolah mengundang dewan guru kelas, dan kadang-kadang asisten pendidikan, untuk bertemu dengan IPRC untuk menyajikan informasi. Sangat sering diskusi tatap muka ini didahului oleh informasi tertulis yang mungkin bervariasi dari bentuk arahan sederhana, untuk informasi anekdotal, untuk suatu studi kasus pembangunan sepenuhnya. Orangtua dapat memberikan informasi penting tertentu untuk menilai atau tim evaluasi. Mereka juga memiliki keuntungan karena mengetahui urutan perkembangan siswa seutuhnya. Peraturan 181 Ontario mensyaratkan bahwa orang tua menjadi bagian integral dari proses ketika seorang anak di dipertimbangkan untuk mendapatkan pendidikan khusus.

Informasi Medis
Tes ini hanya ada jika dibutuhkan. Informasi dapat berkisar dari data tentang pendengaran, penglihatan, dan kemampuan fisik, terhadap kesehatan umum dan kondisi neurologis yang mungkin relevan dengan situasi siswa. Data-data ini jika tersedia, akan datang dari profesional kesehatan yang sesuai, mereka hampir tidak pernah diurus oleh dewan sekolah. Pengalaman telah menunjukkan bahwa tanpa kerjasama dan dorongan dari orang tua, data, disertai dengan anjuran untuk tindak lanju yang berguna seringkali sulit didapat. Profesional kesehatan dapat dimengerti waspada terhadap peraturan organisasi tempat ia bekerja tetapi pada saat yang sama, sering menunjukkan keengganan untuk berbagi lebih dengan sekolah dari sekedar informasi yang samar.

Laporan dan Analisis:
Prifessional lain

Untuk alasan yang tidak memerlukan elaborasi di sini, adalah jelas bahwa anggota profesi ilmu ‘perilaku’ dapat menawarkan wawasan yang sangat membantu situasi siswa tertentu. Apa yang harus dipertimbangkan oleh pendidik, namun, ketika menerima informasi dari sumber-sumber ini, jumlah waktu yang proporsional siapa pun dari para penilai telah mampu menghabiskan waktu dengan siswa dan, pada waktu itu, jumlahnya berdasarkan situasi ruang kelas yang sebenarnya. Karena faktor ini, pendidik sering merasa lebih terbantu dengan menggunakan informasi penilaian dari sumber-sumber untuk pemahaman umum tentang sindrom daripada pemrograman tertentu.

Prosedur Penilaian alternatif
Prosedur penilaian alternatif tradisional yang terus-menerus disarankan kepada sistem sekolah. Lima di antaranya diuraikan secara singkat di sini.

Penilaian Autentik
Berdasarkan pada premis bahwa jenis tradisional gagal untuk mengukur kinerja siswa dalam cara yang autentik, tipe ini fokus membentuk penilaian yang lengkap dan 'realistis' gambaran anak tentang apa yang bisa dan tidak bisa ia lakukan. Penilaian autentik yang memungkinkan siswa dapat terlibat dalam cara yang interaktif, dimana mereka dapat mengakses petunjuk dari guru dan teman-teman sebayanya. Fokusnya adalah pada siswa yang memungkinkan untuk menerjemahkan informasi yang telah dipelajari dalam situasi kelas, dan menerapkan pengetahuan dalam cara pemecahan masalah. Jenis penilaian ini dirancang untuk menghasilkan kinerja terbaik siswa berdasarkan interaksi dan praktek.

Portofolio Penilaian
Portofolio adalah kumpulan pekerjaan siswa yang menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan siswa selama jangka waktu tertentu. Alih-alih menjadi karya koleksi serampangan, sampel dikumpulkan secara berkala, sebuah portofolio adalah pengambilan sampel yang representatif. Tujuan dari pengembangan portofolio ada dua: pertama, untuk menyediakan sarana bagi guru untuk mengukur kemajuan/progress siswa, dan kedua (lebih penting), untuk memungkinkan siswa sendiri untuk memonitor dan mengevaluasi pertumbuhan akademisnya, dan dengan demikian membantu untuk membuat keputusan tentang bagaimana tindakan selanjutnya.
Salend (1998) menyarankan pedoman berikut untuk penggunaan penilaian portofolio yang efektif di dalam kelas.
• Mengidentifikasi tujuan dari portofolio.
• Menentukan jenis portofolio yang akan digunakan (showecase, reflektif, kumulatif, berdasarkan tujuan).
• Menetapkan prosedur untuk mengatur itu.
• Pilih rentang kelas otentik yang berhubungan dengan tujuan portofolio.
• Catat item pentinga yang terdapat dalam portofolio siswa.
• Review dan mengevaluasi portofolio secara berkala.

Penilaian Ekologi
Konsep ini mencakup campuran dari metode formal dan informal, bersama dengan evaluasi yang teliti terhadap variabel belajar-mengajar dalam kasus siswa. Idenya adalah untuk memeriksa konteks di mana siswa belajar, serta siswa sendiri. Dengan demikian, hal-hal seperti gaya manajemen guru, kurikulum, strategi pengajaran, dan bahan pengajaran diperiksa; sampel kerja yang dihasilkan oleh siswa dievaluasi, serta keberhasilan dan pola-pola kesalahan di dalam dan di luar sekolah, dll, semua ini di luar penggunaan instrumen tes formal biasa. Sementara itu, sisi yang paling menarik dari penilaian ekologis pada prinsipnya, manajemen, dan faktor-faktor ekonomi membuat sangat sulit untuk dilaksanakan.

Penilaian Gaya Belajar
Yang pada awalnya diterima dengan baik usulan yang ditawarkan tahun 1980-an gagasan bahwa dengan menelaah bagaimana siswa belajar, dan menemukan apa yang kondisional atau memikirkan gaya presentasi yang seperti apa dimana ia belajar paling alami dan efektif, perbaikan kemudian menjadi kasus yang relatif mudah membuat penyesuaian yang tepat ketika dia tidak belajar. Sementara gagasan berhasil dalam meningkatkan perhatian pada pemrograman individualisasi sebagai metode penilaian, ia telah membuktikan sangat kompleks untuk penghargaan itu tahap-tahap perkembangan pertumbuhan mereka, gaya siswa tidak selalu stabil dan karenanya dapat diakses untuk pengukuran yang dapat diandalkan.

Penilaian Dinamis
Feuerstein (1979) dan rekan-rekannya mengusulkan sebuah alternatif yang paling menarik secara konseptual untuk pendidikan khusus. Umumnya kritis terhadap prosedur penilaian tradisional adalah karena kebiasaan menilai siswa statis, yaitu, pada satu titik dan satu waktu, dengan semua kekurangan petugasnya, Feuerstein mengajukan penilaian dinamis. Pada dasarnya, ini adalah tes-tes mengajar-model yang pertama menetapkan subjek akan dinilai untuk mengungkapkan kebutuhan; kemudian mengarahkan pemeriksa untuk berinteraksi secara terus-menerus dengan subjek, mengajarkan isi dan konsep yang dinilai pertama kali dalam upaya untuk mengatasi kebutuhan dan ketiga untuk menilai kembali, untuk melihat apakah subjek ini telah belajar dan untuk mengidentifikasi strategi-strategi apa yang paling berhasil dalam proses. Tesis Feuerstein adalah bahwa hal itu lebih berharga untuk mengetahui apakah dan apa dan bagaimana siswa dapat diajarkan dan strategi apa yang bekerja paling baik dalam pengajaran, daripada sekedar belajar atau telah mengkonfirmasikan apa yang dia tidak bisa dilakukan . Meskipun penilaian dinamis memiliki perusahaan minoritas di Ontario, dan itu tidak mendapat perhatian yang mungkin layak.

Beberapa Masalah dalam Penggunaan Pengujian Formal
Lebih daripada daerah lain dari pendidikan khusus, isu-isu dan masalah penilaian sangat banyak dan saling terkait. Salah satu isu terlimpahkan ke yabg lain dengan cara yang membuat keduanya lebih serius daripada secara individual. Contohnya adalah masalah tes mistik dan isu hanya seberapa akurat adalah gambaran seorang siswa yang dihasilkan tes?

Faktor mistik kuat. Pendidik, termasuk orang-orang yang seharusnya tahu lebih baik, tampaknya bersedia untuk menganggap tes mistik semacam kemampuan untuk membuka jendela ke dalam batin siswa dan cara kerja pikiran. Hasilnya adalah bahwa sebagian pendidik akan sering menunda untuk menguji hasil atau interpretasi dari hasil tes-gambar yang dianggap siswa-bahkan jika bertentangan dengan hasil pengamatan mereka sendiri dan kesimpulan, tiba di atas bulan pengamatan dan analisis. Ironisnya, para profesional yang mengelola dan menafsirkan tes ini jarang mendorong, bahkan mereka biasanya orang-orang yang menunjukkan bahwa instrumen tes formal hanyalah salah satu dari beberapa yang terlihat pada subjek. Namun begitu adalah efek dari hasil tes bahwa hampir semua orang yang terlibat dalam kasus siswa akan, bagaimanapun secara diam-diam, mengakui keunggulannya, dengan efek bahwa pentingnya tes dalam penilaian umum siswa dapat tidak proporsional secara mengejutkan.


Masalah lain adalah konten pengujian dan persoalan bias budaya dan diam-diam diskriminasi terhadap kelompok SES rendah. Produsen tes komersial mengklaim telah meletakkan masalah ini dalam revisi, tetapi perkiraan dari kesuksesan mereka, seperti diterbitkan dalam tinjauan profesional, adalah konserfatif yang terbaik.

Dalam tes yang diberikan kepada kelompok-kelompok, pertanyaan-pertanyaan yang biasanya dirumuskan sehingga jawabannya didapat dari mesin, dengan pilihan ganda untuk yang paling populer. Oleh karena itu, hampir setiap pertanyaan harus ditanggapi dengan satu jawaban terbatas. Seperti struktur mengundang banyak pertanyaan bodoh dan sederhana dan mengabdikan dan berlebihan atau sejumlah ruang, waktu, dan tenaga untuk hal-hal kecil. Tak perlu dikatakan lagi, itu juga meninggalkan ruangan kecil, jika ada, untuk reflektif atau siswa kreatif.

Hal ini tidak aneh, dalam tes bahasa dan membaca, untuk mencari daftar kata-kata tunggal, di luar konteks, untuk dibaca dengan suara keras. (Lihat, misalnya, Wide Range Achiement Test-Revised, 1984.) Daftar ini sering dipisahkan dalam subset di bawah judul seperti 'Pengakuan Kata', dengan hasil ditafsirkan sebagai ukuran umum kemampuan membaca, bukan pengakuan kata saja.
Praktek juga beranggapan bahwa pengujian keterampilan yang terisolasi seperti pengakuan kata mungkin, dan layak dilakukan di tempat pertama.

Dalam tes prestasi khususnya, setiap item cenderung menjadi skor dengan nilai yang sama (biasanya 1 atau 0). Karena biasanya tugas-tugas peningkatannya sulit, Siswa A, yang menjawab dengan benar 16 pertanyaan hingga 20, memperoleh skor yang sama seperti Siswa B, yang benar menjawab pertanyaan satu sampai lima. Item dengan item yang akan mengungkapkan bahwa siswa A dan B memperoleh skor mentah lima dengan rute yang berbeda dianalisis secara hati-hati, tetapi dalam praktiknya, konsumen informasi tes jarang melihat, atau memiliki waktu untuk melihat dan menganalisis item.

Ujian ini biasanya ketat dihitung, dengan semua kesulitan yang menyulitkan
untuk pemikir lambat (belum lagi para pemikir yang mendalam).

Seiring waktu, tes formal yang diproduksi secara komersial telah disebut 'terstandarisasi' (membedakan mereka untuk tes guru yang oleh karenanya implikasinya, adalah tidak terstandarisasi). Banyak konsumen tes telah menerima 'standar' seolah-olah tes ini didasarkan pada standard. Ini tidak terjadi di semua kasus. Hasil tes memang akan dibandingkan dengan skala nilai atau 'norma', tetapi norma-norma ini bukan merupakan standar mutlak; mereka skor-abtained dari populasi uji sampel oleh penerbit untuk membentuk dasar untuk perbandingan. Penerbit biasanya berpendapat bahwa norma-norma mereka mewakili kisaran hasil (dalam kurva lonceng yang sempurna) yang dapat diharapkan dalam populasi normal atau khusus. Mengklaim bahwa terlepas bahwa perbandingan masih relatif; itu tidak standar. Apa yang standar dalam tes formal adlah prosedur administrasi dan penilaian. A tes 'standar' adalah salah satu yang teradministrasi dan menilai dengan cara yang sama setiap waktu, dalam rangka untuk mengurangi gangguan pemeriksa.

Praktek lain yang tersusun dengan baik adalah generalisasi hasil tes. Jika siswa C mengambil tes X dalam pemahaman membaca dan skor nilai equifalen, katakanlah 4,2, hasil tersebut adalah untuk pengujian tertentu. Namun itu adalah latihan yang teratur oleh pendidik untuk membuat asumsi bahwa tingkat membaca siswa mutlak senilai 4,2.

Mudahnya, salah satu elemen dari uji formal yang paling disalahpahami dan diabaikan adalah kesalahan standar pengukuran (SEM). Karena tes benar-benar tidak akurat, subjek skor tidak pernah diketahui secara benar. Nilai yang subjek dapatkan sebenarnya hanya merupakan perkiraan dari nilai sebenarnya. Apa SEM dilakukan kemudian, adalah sebuah statistik refleksi dari seberapa dekat nilai sejati yang diperoleh subyek dari nilai sebenarnya. Jika, misalnya, dia mencetak 110 pada tes dengan 3,8 SEM kemudian sekitar dua pertiga dari waktu, secara statistik, nilai sebenarnya akan jatuh di antara 106,2 dan 113,8. dampak dari SEM dapat menjadi sangat kuat (tidak sedikit karena begitu sering diabaikan). Jika siswa diidentifikasi untuk menjalani program berdasarkan hasil tes, adalah mudah untuk melihat bagaimana penyebarannya. Kelonggaran yang dilakukan oleh SEM, dapat sangat besar.

Secara bersamaan, masalah dari tes formal (tidak semua kesalahan dari tes atau pemeriksa) telah menyebabkan penurunan penggunaannya di Ontario dalam menilai siswa luar biasa. Meskipun tradisi pengujian ini masih sangat kokoh didirikan, sumber alternatif yang lebih sering digunakan, dan cenderung memiliki kredibilitas yang lebih besar daripada yang mereka lakukan. Apa yang masih tersisa untuk pendidikan khusus, setidaknya dalam beberapa yurisdiksi, adalah jurang sempit antara penyelenggaraan penilaian terhadap siswa luar biasa dan pengembangan program mereka.

Studi Kasus
Studi kasus adalah eksekutif singkat yang efisien yang tersusun atas informasi dari sejumlah sumber ke dalam satu dokumen. Dalam situasi di mana kasus siswa luar biasa ini menjadi rumit dari waktu ke waktu - dan banyak berbuat - dan ketika telah melibatkan bermacam personel, sebagian di antaranya mungkin tidak mengenal satu sama lain, atau belum pernah bekerja bersama-sama, studi kasus menyatukan sejarah, status saat ini, dan kebutuhan. Jika ditulis dengan cermat, akan didapati cara yang paling efektif sejauh ini, untuk membawa sekelompok profesional dengan beragam kepentingan hingga mereka tiba pada situasi di mana mereka berbagi tanggung jawab.
Biasanya, sebuah studi kasus pendidikan yang disiapkan oleh guru nominal yang bertanggung jawab untuk siswa yang bersangkutan idealnya, ditulis menurut dua kriteria utama:
• Studi kasus terbaik adalah ringkas. Efektif, maksimal dua halaman jika memungkinkan.
• Studi kasus tidak menghakimi atau membuat pernyataan tetapi laporan evaluatif bersifat fakta.

Studi kasus (lanjutan)
Penting untuk diingat bahwa studi kasus merupakan titik awal. Hal ini ada di pertemuan dimana studi kasus telah disiapkan, dimana penilaian, evaluasi, spekulasi, opini, interpretasi dan seterusnya, yang disiarkan.
Untuk studi kasus dalam pendidikan komponen-komponen berikut yang paling sering diplihi:
I. Data demografis
II. Keterangan atau isu pendidikan
III. Sejarah keluarga
IV. Fisik dan status kesehatan
V. Sosial dan perilaku
VI. Laporan tambahan
VII. Penilaian data
VIII. Program dan penempatan terkini
IX. Rekomendasi. (bagian ini biasanya tidak terselesaikan sampai diskusi telah selesai diselenggarakan dan keputusan telah dibuat untuk langkah berikutnya).

I. Untuk alasan privasi, jumlah data demografis biasanya terbatas untuk hal-hal penting, termasuk unsur-unsur seperti nama dan alamat, usia, tanggal lahir, sekolah, dan penempatan, dan nama orang tua.
II. Masalah pendidikan merupakan jantung dari studi dan harus memberikan pembaca esensi dari situasi. Rincian yang mengembangkan atau menjelaskan biasanya dimasukkan dalam bagian yang berbeda.
III. Tepatnya, informasi yang berguna tentang keluarga seringkali sangat membantu tetapi karena alasan privasi, penulis studi kasus harus berhati-hati terhadap sisi kekurangan daripada kelebihannya - kecuali jika situasi keluarga, dalam pendapat penulis merupakan faktor utama.
IV. Informasi tentang pembangunan fisik yang disertakan hanya jika erat terkait. Dimana itu bukanlah sebuah isu, janganlah disertakan pada studi kasus.
V. Dalam beberapa studi kasus, bagian tentang perilaku dan masalah-masalah sosial akan membutuhkan beberapa detail. Penulis studi kasus, bagaimanapun, harus berhati-hati untuk menghindari drama dan tetap berpegang pada fakta-fakta yang relevan.
VI. Laporan tambahan biasanya mencakup data medis, laporan dari sekolah atau lembaga lain, dan lain-lain dalam beberapa studi kasus, itu hanya cukup untuk menyatakan bahwa laporan ini telah dibuat, dan kemudian jika mungkin, menunjukkan di mana aslinya mungkin tersedia.
VII. Penilaian data biasanya produk tes. Penting untuk melibatkan mereka, tetapi sering, karena peraturan privasi, mereka mungkin tidak akan tersedia bagi penulis studi kasus. Jika mungkin, bahwa penulis harus mencoba untuk menentukan tes apa yang diberikan, yang di bawah otoritas dan kapan melaksanakannya. Paling tidak, penulis harus dapat menyatakan apakah tes itu diberikan atau tidak.
VIII. Penjelasan program tidak perlu terprinci. Biasanya ikhtisar sudah cukup.
IX. Rekomendasi biasanya tidak dibuat jika studi kasus akan maju ke tim sekolah atau komite. (Di sisi lain, jika studi ini tidak akan maju, maka bagian ini menjadi tujuan seluruh aktivitas)